Pemerkosaan, Penganiayaan, dan Pembunuhan "Manusia semakin gila!!"
Berita pemerkosaan sangat populer dalam beberapa hari terakhir, terutama
terkait dengan pernyataan salah satu calon hakim agung Daming Sanusi: yang
memerkosa dan diperkosa sama-sama menikmati.
Tulisan ini menyajikan
sisi lain, yaitu data statistik tentang kejadian pemerkosaan. Seberapa masifkah
tindak pemerkosaan, juga penganiayaan dan pembunuhan yang terjadi di Indonesia
saat ini dan mengapa terjadi?
Memaknai Angka
Pembaca data statistik yang
teliti akan dikagetkan dengan data hasil pendataan potensi desa (podes) yang
dilakukan setiap tiga tahun sekali oleh BPS. Kejadian tiga jenis tindak
kriminal, yaitu pemerkosaan, penganiayaan, dan pembunuhan, merambah ke
desa-desa dengan spektrum yang begitu masif dan mencengangkan. Tulisan ini
menyajikan data dari hasil dua podes terakhir, yaitu Podes 2008 dan Podes
2011.
Pendekatan pendataan
adalah desa dengan aparat desa dan tokoh masyarakat setempat sebagai narasumber
utama untuk memperoleh informasi. Keunggulan pendekatan ini, untuk mengungkap
sebaran kejadian pemerkosaan misalnya, dibandingkan pendekatan berbasis
individu korban, terletak pada kemampuannya untuk memperoleh informasi yang
faktual dan meminimalkan tersembunyinya suatu kejadian karena si korban malu
untuk melaporkannya ke pihak yang berwajib.
Pemerkosaan adalah tragedi mengerikan yang dapat
menghapus harapan hidup manusia. Podes 2008 mengungkapkan bahwa sebanyak 2.199
desa dengan sebaran 657 desa di Jawa dan 1.542 desa di luar Jawa yang mengalami
kejadian pemerkosaan di desa mereka. Di tahun 2011 sebanyak 2.122 desa
melaporkan peristiwa serupa.
Angka yang diperoleh dari pendekatan desa ini
bukan merujuk ke jumlah peristiwa pemerkosaan, tetapi merujuk ke jumlah desa
yang minimal ada satu kejadian pemerkosaan. Artinya jumlah peristiwa atau
korban pemerkosaan yang sebenarnya akan lebih besar dari angkaangka yang
disebutkan. Seluruh provinsi mengalaminya.
Di tahun 2011, konsentrasi peristiwa pemerkosaan
terjadi di Pulau Jawa yang menyebar di 708 desa. Beberapa provinsi seperti
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, NTT, Sulawesi Utara, dan Papua
mengalami intensitas pemerkosaan yang tinggi (lebih dari 60 desa di tiap
provinsi tersebut melaporkan ke petugas BPS bahwa ada anggota masyarakatnya
yang mengalami tindak pemerkosaan)
Selain pemerkosaan, penganiayaan oleh anggota
masyarakat terhadap anggota masyarakat yang lain bahkan terjadi dalam spektrum
yang lebih masif. Di tahun 2008 dari 75.378 desa/kelurahan di Indonesia, ada
5.080 desa yang masyarakatnya mengalami tindak penganiayaan. Angka ini menurun
di tahun 2011, tetapi masih sangat tinggi, yaitu sebanyak 4.171 desa yang
melaporkan ada anggota masyarakatnya yang mengalami tindak
penganiayaan.
Hal yang agak sulit dipercaya bahwa di tahun 2008
terdapat 1.844 desa di Indonesia, selama setahun sebelum pendataan podes
tersebut dilakukan, mengalami kejadian pembunuhan. Data terakhir ditahun 2011
memperlihatkan bahwa terdapat 1.585 desa yang mengaku bahwa di desa mereka paling
tidak terjadi satu kasus pembunuhan. Kejadiannya menyebar ke seluruh
wilayah.
Di Pulau Jawa terdapat 420 desa yang di tahun
2011 mengalami minimal satu kejadian tindak pembunuhan. Beberapa provinsi
diluar Jawa seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Selatan, dan Papua adalah beberapa provinsi dengan kejadian pembunuhan
di desa-desa mereka dengan frekuensi yang cukup tinggi.
Refleksi Kegelapan Peradaban?
Angka-angka yang dipaparkan merefleksikan bahwa
Indonesia memang tengah menghadapi situasi degradasi moral yang memilukan.
Bagaimana kita dapat menerangkan mengapa kejadian itu begitu masif dan menyebar
secara relatif merata di seluruh wilayah Indonesia? Setidaknya ada dua hal
utama yang dapat membantu menerangkan kecenderungan yang terjadi saat ini.
Pertama, seperti yang dikemukakan oleh Robert D
Putnam (1995), bahwa tindak kriminal termasuk pemerkosaan adalah akibat dari
melemahnya modal sosial, terutama pada dimensitrust (rasa saling
percaya), sense of efficacy (perasaan berharga), reciprocity(kesalingimbalbalikan
pertolongan dan pemberian), serta humanity (semangat
kemanusiaan) berupa toleransi dan semangat menghargai manusia yang lain.
Melemahnya keempat komponen modal sosial ini
mengakibatkan masyarakat kehilangan tujuan, arah, dan harapan hidup. Mereka
juga terjebak pada situasi ketakutan dan kecemasan yang dipicu oleh situasi
kebudayaan berupa tercabutnya nilai-nilai dan norma yang positif dari
kebudayaan masyarakat. Semangat kebersamaan dalam masyarakat yang saling
percaya-memercayai dan saling tolong-menolong yang membuat kehidupan setiap
individu merasa bermakna mulai terkikis.
Tiap individu semakin menunjukkan sikap yang
penting “enak” sendiri. Kata “kita” telah berubah menjadi “aku”. “Aku”yang
terpuaskan. Seiring dengan melemahnya ikatan kehidupan kolektif masyarakat,
semangat kemanusiaan juga memudar. Rasa cinta kasih dan toleransi terhadap
sesama semakin hari dirasakan semakin jauh. Kita rela tanpa merasa bersalah
mengganggu dan mengambil hak orang lain.
Serangkaian kata nihil spectre homini
admirabilius (tidak ada yang paling berharga selain penghormatan terhadap
manusia), yang begitu berharga dan membahana pada saat awal Renaissance Eropa,
tentang perlunya penghormatan terhadap eksistensi manusia,mulai redup. Kedua,
sekilas, dalam ritual, kita seolah-olah beragama, tetapi jiwa manusia Indonesia
saat ini cenderung kosong dari nilai-nilai kemanusiaan yang mendasari kehadiran
suatu agama.
Pertanyaan besar itu tidak pernah kita jawab
secara tegas. Apakah kita sebagai umat beragama merasa telah cukup untuk
disebut sebagai manusia beragama dengan telah melaksanakan cara-cara
berpakaian, cara naik sepeda motor dan atau dengan melaksanakan
ritual-ritualnya dan turun-temurun?
Sementara pada sisi yang lain, para pemeluk dan
tokoh agama terkesan kurang memberi perhatian pada dimensi moralitas yang
sangat mendasar seperti persoalan kemiskinan, penghancuran lingkungan,
pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, dan bentuk-bentuk penindasan lain yang
berlangsung di pelupuk mata, di tengah masyarakat in situ (dalam
komunitas)-nya.
Revitalisasi Kebudayaan
Pemerkosaan, penganiayaan, dan pembunuhan semakin
hari cenderung telah menjadi hal biasa. Ribuan desa mengalaminya. Ribuan korban
telah menghiasi angka statistik kriminal, tetapi sepertinya belum menghiasi
hati kita untuk berempati secara sungguh-sungguh terhadap para korban. Kita
biasa-biasa saja, bahkan kebiadaban tindak pemerkosaan kita anggap sebagai
peristiwa lumrah, bahkan menggelikan: “sama-sama enak”.
Hakim Daming jangan-jangan hanyalah miniatur dari
mozaik besar bangsa, termasuk diri kita, dalam menyikapi korban-korban
pemerkosaan dan kebiadaban lain yang terjadi. Energi integratif kebudayaan
untuk mencegah berbagai tindak kebiadaban seperti pemerkosaan telah
melemah.
Hal ini hanya bisa terjadi pada suatu bangsa dan
masyarakat yang kurang sungguh-sungguh dalam merevitalisasi kebudayaannya dan
pada masyarakat beragama yang kehilangan jati diri keagamaannya. Masyarakat
yang jatuh dalam kebiadaban (uncivilized society) menurut Lewis Hendry
Morgan (1877) hampir sama dengan barbarian society. Di manakah kita
sesungguhnya tengah berada?