PENDAHULUAN
Sejak dari dahulu
sampai sekarang, pekerjaan nelayan merupakan pekerjaan turun temurun dan
umumnya tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Dalam masyarakat nelayan
ditemukan adanya kelas pemilik dan kelas pekerja. Kelas pemilik yang dapat
dinyatakan sebagai juragan, kesejahteraannya relatif lebih baik karena
menguasai faktor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap maupun faktor
pendukungnya seperti es, garam dan lainnya. Kelas pekerja atau penerima upah
dari pemilik merupakan mayoritas, dan kalaupun mereka berusaha memiliki sendiri
alat produksi, umumnya masih sangat konvensional, sehingga produktivitasnya
kurang berkembang, “...kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh
kemiskinan”. (Ninda, 2009). Menurut data, jumlah nelayan di Sumut sekitar
321.000 orang yang tersebar di 13 kabupaten dan kota, dan dari jumlah tersebut,
nelayan tradisional mencapai 70 persen, nelayan menengah 20 persen dan nelayan
skala besar 10 persen. Berarti, nelayan yang termarginalkan adalah sekitar 70
persen dari jumlah nelayan (sekitar 224 ribu lebih) nelayan masih berada di
bawah garis kemiskinan. (Ulumuddin, 2009) Dengan demikian pembahasan masyarakat
nelayan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah nelayan tradisonal.
Waktu bekerja nelayan
harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari satu bulan namun sayangnya
yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari, sisanya
mereka relatif
menganggur. Kenyatannya, bila perairan di Sumatera utara dilanda angin barat
daya yang bertiup cukup kencang, mengakibatkan terjadi ombak besar, khususnya
di wilayah pantai barat seperti Sibolga, Tapanuli Tengah, Nias dan Tapanuli
Selatan dengan ketinggian sekitar empat meter. Sedangkan di wilayah pantai
timur seperti Belawan, Deli Serdang, Asahan dan Tanjung Balai, ketinggian
ombaknya sekitar dua meter. Kondisi itu menyebabkan nelayan di Sumut yang
umumnya masih tergolong nelayan tradisional tidak berani melaut karena khawatir
terhadap keselamatan jiwa. Namun, sebagian nelayan tetap memaksakan diri melaut
meski harus menghadapi besarnya ombak dan tidak mendapatkan ikan yang cukup
banyak. Kelompok nelayan ini tetap memaksakan diri karena kebutuhan rumah
tangga disebabkan tidak memiliki uang pada masa kritis. "Mereka (nelayan)
berprinsip, lebih baik mati di laut dari pada dapur tidak berasap,"
(Ulumuddin, 2009).
Nampaknya masyarakat
nelayan sulit dilepaskan dari jebakan kemiskinan, karena mereka sering
dihadapkan pada musim paceklik, dan untuk mengatasi masalah di musim paceklik
ini, berbagai usaha dilakukan nelayan, contohnya adalah mereka menjual
perhiasan istri demi menyambung hidup keluargnya ataupun meminjam pada rentenir
(Solihin, 2004). Potret kehidupan nelayan kecil di pesisir memang belum
terlepas dari jerat rentenir, bahkan kian hari jerat itu dirasakan semakin
melilit. Utang ke rentenir telah membuat nelayan terjebak dalam kemiskinan
terstruktur, sehingga kehidupan nelayan tak kunjung sejahtera. Lebih parah
lagi, ”pulang melaut umumnya para nelayan hanya cukup membeli beras sebanyak
dua liter”, karena tersangkut pinjaman rentenir dengan bunga yang ditetapkan
mereka. (Sinar Indonesia Baru, 27 Maret 2008)
Umumnya, nelayan bisa
bertahan hanya dan hanya jika didorong semangat hidup yang kuat dengan motto
kerja keras agar kehidupan mereka menjadi lebih baik. Nelayan tradisional
berjuang keras melawan terpaan gelombang laut yang dahsyat pada saat pasang
naik untuk mendapatkan ikan. Dengan hanya mengandalkan kemampuan mesin dompeng
misalnya, nelayan dapat berada pada radius 500 M dari pinggir pantai dan dengan
cara seperti ini nelayan akan mendapatkan lebih banyak dibandingkan dengan bila
menangkap ikan di bibir (tepi pantai) pada radius 200 M, yang ikannya sudah
langka. (Kompas Com, 26 Maret 2009)
Pekerjaan menangkap
ikan dikerjakan oleh lelaki karena merupakan pekerjaan yang penuh resiko,
sehingga keluarga yang lain tidak dapat membantu secara penuh. Kalaupun nelayan
pekerja memiliki alat produksi sendiri ternyata alat tangkap ikan yang dimiliki
tersebut belum dilengkapi dengan alat teknologi tangkap ikan, dan modal usaha,
sehingga penghasilannya tidak seperti bila mereka menggunakan alat teknologi
tangkap ikan yang baik. Bagi para nelayan memang tidak ada pilihan lain, karena
pekerjaan yang berhadapan dengan ancaman gelombang laut, ombak, cuaca, dan
kemungkinan terjadi karam saat akan melaut ke tengah lautan untuk menangkap
ikan adalah pekerjaan turun temurun tanpa pernah belajar sebagai nelayan yang
modern. Dengan demikian sangat diharapkan sekali walaupun harapan tersebut
:...bagaikan kerakap tumbuh di batu, bahwa mereka perlu modal usaha untuk
perbaikan dan peningkatan kesejahteraan hidup.(Pangeman, Adrian P dkk. 2002).
Kenyataannya, pada usia meningkat remaja anak nelayan mulai diajak berlayar dan
ikut melaut, sehingga merka jarang yang sekolah. Kini harus dipahami bahwa
kehidupan nelayan memerlukan perhatian yang multi dimensi. Tantangan yang
terbesar adalah bagaimana membangun kehidupan nelayan menjadi meningkat
kesejahterannya. Besar kemungkinannya hal ini dapat dicapai melalui pendidikan
yang akan mengangkat harkat dan martabat kehidupan masyarakat nelayan maupun
masyarakat lainnya yang terkait dengan sumber daya kelautan dan pesisir. “Usaha
ke arah ini haruslah bermuara pada peningkatan kemakmuran nelayan, terutama
nelayan kecil dan petani ikan” (Indrawadi, 2009).
Dengan demikian,
masalah sosial budaya yang terdapat pada kehidupan nelayan antara lain adalah:
a) Rendahnya tingkat pendidikan, b) Miskin pengetahuan dan teknologi untuk
menunjang pekerjaannya, c) Kurangnya tersedia wadah pekerjaan informal dan d)
Kurangnya daya kreativitas, serta e) Belum adanya perlindungan terhadap nelayan
dari jeratan para tengkulak.
Melihat kondisi
kehidupan nelayan yang tidak memungkinkan anak nelayan memasuki sekolah formal
karena keberadaan anak nelayan dimaksudkan untuk membntu ayahnya mencari ikan
ke laut. Kini dlpertanyakan bagaimanakah model pendidikan bagi anak nelayan,
apakah pendidikan anak nelayan memerlukan pendidikan khusus sebagaimana halnya
juga dengan anak petani miskin yang membantu orang tuanya di sawah? Melihat
kehadiran anak nelayan di sekolah formal lebih banyak absennya karena ikut
melaut membantu orang tuanya, apakah anak nelayan perlu mendapat pendidikan
khusus di sekolah formal? Ataukah anak nelayan diberi pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan membantu orang tua kelaut?
Pemberdayaan anak
nelayan ternyata tidak bisa diseragamkan, tetapi harus disesuaikan dengan
kondisi aktual masyarakat setempat. Misalnya saja pendidikan manajemen keuangan
yang diharapkan memungkinkan mereka terbebas dari jeratan tengkulak, harus
diberikan dengan memperhatikan budaya dan kondisi psikologis mereka. Jika ini
tidak diperhatikan, dipastikan program pemberdayaan pendidikan akan gagal
karena pemberdayaan pendidikan anak nelayan tidak terlepas dari pemberdayaan
masyarakat pesisir. Persoalan yang dihadapi adalah, sebagian masyarakat pesisir
masihberanggapan bahwa pendidikan itu tidak penting. Yang perlu dilakukan
adalah membalik paradigma nelayan selama ini, dengan menyatakan bahwa
pendidikan itu penting.
Dengan demikian
beralasanlah bila anak nelayan perlu dicarikan model pendidikan dasar yang
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan kehidupan mereka. Kini dipertanyakan
bagaimanakah model pendidikan dasar yang sesuai bagi anak nelayan? Melalui
penelitian khusus untuk pendidikan dasar bagi anak masyarakat nelayan, akan
terungkap kemungkinan bentuk pendidikan yang sesuai bagi masyarakat nelayan.
Masyarakat nelayan
dalam penelitian ini adalah masyarakat nelayan trdisional Sumatera Utara. Model
yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah model pendidikan dasar bagi
anak nelayan, bukanlah model pendidikan dasar pada sekolah formal, dan
kemungkian besar berbeda dengan pendidikan dasar yang sudah ada. Kini masalah
dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah alternatif
model pendidikan dasar pada masyarakat nelayan? Tujuan penelitian ini adalah
mengkaji model pendidikan dasar untuk anak masyarakat nelayan agar mereka dapat
sekolah dan terpenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat nelayan, dan lebih
jauh lagi pada gilirannya kelak mereka akan terbebas dari kemiskinan.
DIMENSI-DIMENSI PANDANGAN ATAS BERBAGAI
HAL SERTA KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN
Dimensi Pendidikan
Mengingat
masyarakat nelayan adalah masyarakat yang memiliki sifat-sifat khusus, baik
dari segi pemahaman terhadap pendidikan, tingkat kesejahteran, miskinnya
pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaan, kurang kreatif, maupun
kurang terencana manajemen keuangan untuk menentukan masa depan, maka model
yang dianut adalah model pemberdayaan nelayan melalui pendidikan berbasis
kebutuhan komunitas dan berbasis masyarakat nelayan. Konsep pendidikan berbasis
komunitas nelayan pada dasarnya mengacu kepada konsep pemberdayaan komunitas
nelayan, yaitu bagaimana membuat komunitas pada masyarakat nelayan memiliki
pandangan perlunya pendidikan dasar bagi anak nelayan. Hal ini disebabkan
sebagian masyarakat pesisir masih beranggapan bahwa pendidikan itu tidak
penting dan kini saatnya menyadarkan masyarakat nelayan bahwa bahwa pendidikan
itu penting.
Pada
tahun 1970-an Ivan Illich pernah melontarkan gagasan kontroversial tentang
masyarakat tanpa sekolah (Deschooling Society). Illich meramalkan, jika
pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar,
institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan
mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial budaya yang luas, tanpa
harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah. Jadi
pengorganisasian pendidikan sistem formal bukanlah menjadi satu-satunya jalan
keluar. Oleh karena itu model pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan yang
harus dikembangkan merupakan model pendidikan non formal yaitu pendidikan dasar
yang mampu menyelesaikan masalah yang terjadi pada masyarakat nelayan, yang
responsif terhadap penyelesaian problem pendidikan sesuai dengan konteks
masyarakat nelayan itu sendiri.
Dalam
model pendidikan dasar ini dibentuk Sanggar Pembelajaran yang dikelola oleh
warga nelayan, seperti home scholing dan dilaksanakan oleh kelompok kecil warga
nelayan, yang terdiri dari 2-3 keluarga. Dari berbagai Sanggar Pembelajaran ini
disatukan lagi dalam kelompok yang lebih besar yang diberi nama Kelompok
Sanggar Komunitas Nelayan (KSKN), yang terdiri dari 10 Sanggar Pembelajaran.
Dari berbagai KSKN tersebut disatukan dalam wadah Pendidikan Dasar Anak Nelayan
(PDAN), yang selanjutnya dihubungkan dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS)
seperti Paket A dan B untuk mendapatkan legalitas sertifikat telah mengikuti
pendidikan dasar. Sertifikat ini dapat digunakan untuk melanjtkan pada
pendidikan mengah. Berkenaan dengan tenaga pendidik yang bertugas sebagai pembina
dan tutor diusulkan untuk mendapat banruan dari Diknas setempat.
Kesimpulan :
·
Banyak siswa pendidikan dasar yang drop out dari sekolah formal dan
umumnya berasal dari anak nelayan.
·
Kurangnya peran masyarakat terhadap anak didik yang drop out kemungkinan
besar masing-masing keluarga larut oleh kesibukannya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
·
Fasilitas yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin walaupun tidak
mencukupi, dan dorongan untuk sekolah, cukup memuaskan, karena keberadaan
sekolah dirasakan berdampak pada meningkatnya kecerdasan anak-anak yang telah
bersekolah.
·
Para tokoh nelayan menginginkan perlunya merancang bentuk pendidikan
yang memungkinkan anak nelayan dapat sekolah sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan nelayan itu sendiri, dan sekaligus dapat membantu orang tuanya
bekerja di laut.
·
Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk diberikan kepada anaknya
antara lain berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia,
mengelola uang dan olah raga, dengan harapan kelak anaknya dapat mengangkat
harkat dan martabat orang tuanya sekaligus mengangkat taraf hidup masyarakat
nelayan.
·
Keterampilan khusus yang diinginkan orang tua untuk anak perempuannya,
antara lain menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan
kulit kerang, dengan harapan selain membantu ibunya anak perempuan nelayan pada
suatu saat nanti dapat memacu kreativitasnya untuk bekerja di bidang lain,
selain sebagai anak nelayan.
·
Posisi sekolah di lapangan ternyata cukup strategis, mudah dijangkau
walaun mungkin hanya jalan stapak, ataupun malah becek dan berlumpur..
·
Masyarakat nelayan memiliki sifat khusus yang memungkinkan anak tidak
dapat sekolah karena lebih banyak membantu orang tua kelaut. Selain itu
rendahnya tingkat pengetahuan membuat rendahnya tingkat kesejahteraan
masyarakat nelayan. Kondisi seperti ini diperparah lagi dengan tidak adanya
perencanaan pengelolaan keuangan yang baik untuk masa depan, dan tidak
terpacunya kreativitas karena kepasrahan dan terbatasnya wawasan meningkatkan
taraf hidup mereka sendiri
·
Model yang diadopsi untuk pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan
adalah model pendidikan berbasis kebutuhan komunitas dan berbasis masyarakat
nelayan dengan menyadarkan masyarakat nelayan akan pentingnya pendidikan bagi
generasi penerus
Dimensi Kesehatan Masyarakat
Penggalian informasi tentang pandangan, perilaku dan
tindakan sehari-hari masyarakat nelayan yang terkait dengan kesehatan dalam
rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia di sektor kelautan dan perikanan
(nelayan). Oleh karena itu, informasi yang dikumpulkan adalah pandangan
masyarakat nelayan tentang hidup sehat, sakit, cara mengatasi penyakit,
pantangan atau kebiasaan makan dan sanitasi perumahan dan lingkungan.
Hidup sehat bagi masyarakat
nelayan memiliki pengertian sebagai suatu keadaan di mana mereka tidak
sakit dan dapat bekerja untuk melaksanakan kegiatan penangkapan
ikan. Hidup sehat juga diartikan oleh mereka sebagai hidup tanpa
kekurangan sesuatu apapun dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan dasar
keluarga (sandang, pangan dan papan).
Berdasarkan pendapatnya tentang sakit, masyarakat nelayan
pada prinsipnya terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat
bahwa sakit adalah kondisi kesehatan yang membuat mereka tidak memungkinkan
untuk bekerja (ke laut). Sementara untuk kelompok kedua, sakit merupakan
kondisi kesehatan yang membuat mereka tidak dapat lagi “berdiri”, atau tidak
sanggup lagi untuk melakukan aktivitas sehari-hari di dalam rumah. Jadi,
selama masih bisa “berdiri” dan karenanya mereka masih dapat pergi ke laut
untuk bekerja, maka kondisi kesehatan seperti itu belum digolongkan sebagai
sakit.Anggapan dari kelompok inilah yang secara umum, menurut para nelayan dari
kelompok pertama, sebagai penyebab terjadinya kecelakaan di laut.Kelompok
nelayan ini menyatakan bahwa kecelakaan laut akibat buruknya cuaca jarang
terjadi karena nelayan cukup berpengalaman dalam menentukan layak tidaknya
cuaca bagi mereka untuk pergi melaut.
Dalam hal mengatasi penyakit, informasi didapat dari
masyarakat tentang pihak yang didatangi untuk dimintai pengobatan (dokter atau
dukun) oleh masyarakat serta jenis obat apa (tradisional atau modern) yang
dikonsumsi oleh masyarakat. Pada saat ini masyarakat nelayan di wilayah
Medan dan seluruh lokasi di Pulau Jawa sebagian besar menyatakan bahwa dukun
diperlukan hanya sebagai alternatif pengobatan. Mendatangi dukun hanya
dilakukan manakala penyakit yang diderita sesuai dengan keyakinan masyarakat
nelayan tidak dapat diobati oleh pengobatan medis, seperti dokter atau bidan. Sementara
itu, bagi masyarakat nelayan di wilayah Kabupaten Lembata dukun masih menjadi
tujuan utama tatkala mereka sakit. Kebiasaan ini, disamping didasari oleh
kepercayaan (sugesti) masyarakat atas kemampuan dukun dalam mengobati penyakit,
juga didasari pada pertimbangan biaya pengobatan yang relatif lebih murah
dibandingkan dengan dokter atau tenaga medis lainnya (dokter atau
mantri). Alasan yang berbeda dikemukakan oleh masyarakat nelayan di
wilayah Bone. Mereka masih tetap menggunakan jasa dukun sebagai tujuan utama
untuk upaya pengobatan, namun kebiasaan ini lebih didasarkan pada masalah
keengganan mereka untuk pergi ke dokter atau Puskesmas, dikarenakan jarak yang
jauh dari tempat tinggal mereka (10 km) serta dalam kondisi rusak.
Pada hampir seluruh wilayah, masyarakat nelayan
mengemukakan bahwa penggunaan obat-obatan tradisional saat ini cenderung
meningkat.Mereka lebih memprioritaskan penggunaan obat-obatan tradisional
terlebih dahulu daripada obat-obatan buatan pabrik atau yang diresepkan dokter.
Hal ini dilakukan nelayan berdasarkan pertimbangan harga obat tradisional yang
lebih murah, disamping praktis digunakan pada saat melaksanakan kegiatan
penangkapan ikan (kemasannya lebih tahan air).Perbedaan kecil ditemukan pada
masyarakat nelayan di desa contoh di Kota Medan. Nelayan di wilayah ini
menganggap bahwa obat-obatan tradisional dan obat buatan pabrik sama pentingnya
tergantung penyakit yang diderita.
Jika terdapat sesuatu pantangan atau hal yang tabu maka
nelayan pada semua wilayah penelitian mengemukakan bahwa mereka akan
mematuhinya sebagai budaya. Sejalan dengan hal ini adalah pendapat Foster dan
Anderson (1986). Mereka menyatakan bahwa pada anggota tiap masyarakat,
makanan dibentuk secara budaya, yang berarti diperlukan pengesahan budaya
dan keaslian untuk sesuatu yang akan dimakan. Makanan yang sebetulnya
bergizi baik menjadi tidak boleh dimakan dikarenakan adanya pantangan agama,
takhyul, kepercayaan tentang kesehatan, dan suatu peristiwa yang kebetulan
dalam sejarah.Makanan ini selanjutnya dikategorikan oleh masyarakat yang
bersangkutan sebagai bukan makanan. Pada masyarakat nelayan
yang diteliti, pantangan makan atau makanan yang dilarang hanyalah jenis-jenis
makanan yang dilarang oleh ajaran agama yang mereka anut (Islam).
Kemudian masyarakat nelayan pada umumnya juga menyatakan
bahwa kondisi di dalam dan di sekitar rumah harus bersih agar mereka dapat
hidup sehat. Namun demikian keberadaan dan pemilikian fasilitas MCK yang
memenuhi standar kesehatan baru dijumpai di masyarakat nelayan Cirebon dan Tegal. Keberadaan
fasilitas itu pun ternyata belum mengubah kebiasaan mereka untuk tetap
memanfaatkan sungai dan pantai sebagai tempat fasilitas MCK. Sedangkan
masyarakat nelayan di wilayah Bone dan Lembata sebagian besar belum memiliki
fasilitas MCK keluarga.
Dimensi Ekonomi
Kehidupan ekonomi dalam kaitannya dengan sosial budaya
masyarakat nelayan adalah penggalian informasi mengenai: (1) Pengaruh sistem
kemasyarakatan terhadap aktivitas kehidupan ekonomi; (2) Cara berpikir,
pandangan dan sikap warga masyarakat terhadap aktivitas kehidupan ekonominya;
(3) Sikap hidup dari warga masyarakat terhadap kekuatan, proses, dan
hukum-hukum ekonomi yang berlaku dalam aktivitas kehidupan ekonominya; (4)
Sikap warga masyarakat terhadap kerja, kekayaan dan sistem gotong-royong. Informasi
akan hal-hal yang dimaksud diharapkan dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa
masyarakat nelayan membentuk dan menjalani kehidupan perekonomiannya.
Khusus di Kabupaten Lembata terdapat pengaturan secara
adat yang berlaku dalam kegiatan penangkapan ikan paus. Aturan adat tersebut
mulai dari pembuatan perahu, persiapan, pelaksanaan penangkapan dan pembagian
hasil tangkapan. Aturan adat ini telah berlaku secara
turun temurun dalam masyarakat nelayan di wilayah ini. Sementara untuk
wilayah penelitian lainnya saat ini tidak ada aturan ataupun norma yang
bersumber dari masyarakat nelayan setempat, di mana aturan tersebut berpengaruh
terhadap aktivitas kehidupan ekonomi masyarakat itu sendiri. Aturan hanya ada melalui saluran formal yang bersumber dari pemerintah.
Pedagang memegang peran yang besar pada kegiatan ekonomi
nelayan. Kondisi ini dijumpai di seluruh masyarakat nelayan tangkap di
Pulau Jawa yang diteliti. Tampak sekali pada masyarakat nelayan di
wilayah-wilayah tersebut telah terbentuk hubungan patron klien antara pedagang
(patron) dan nelayan (klien). Pada hubungan ini, sesungguhnya nelayan berada
pada posisi dirugikan karena ikan hasil tangkapan harus dijual kepada pedagang
dengan harga yang ditetapkan secara sepihak oleh pedagang.
Berbeda dengan fakta yang ditemukan di masyarakat nelayan
di lokasi penelitian di Pulau Jawa, di Medan pedagang tidak banyak berperan
terhadap aktivitas nelayan kecil seperti nelayan pukat. Hal ini disebabkan
pedagang memiliki pengalaman buruk, yaitu seringkali mendapat kesulitan
(gangguan keamanan) dalam berhubungan dengan nelayan kecil seperti nelayan
pukat. Sementara di wilayah Kabupaten Lembata, pedagang bahkan sama sekali
belum memiliki peranan, baik pada kegiatan penangkapan ikan ataupun pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari nelayan.
Lembaga keuangan formal dalam hubungannya dengan
pengembangan ekonomi masyarakat nelayan, sebagai contoh untuk penyediaan kredit
usaha perikanan, di semua wilayah penelitian belum berperanan. Peranan
lembaga keuangan (bank) yang dijumpai di wilayah Kota Medan sebatas menyediakan
fasilitas kredit perumahan nelayan yang dibangun seperti layaknya program
perumahan umumnya. Di wilayah Cirebon dan Tegal, peranan lembaga keuangan
lebih dirasakan oleh pedagang. Pedagang dirasakan lebih memahami
aturan-aturan atau prosedural yang dikeluarkan dan disyaratkan oleh lembaga
keuangan untuk dipenuhi oleh nasabahnya.
Diversifikasi mata pencaharian sebagai salah satu cara
nelayan dalam menyikapi kondisi perekonomiannya jarang dijumpai pada
individu informan dalam kategori nelayan kecil atau nelayan yang berstatus Anak
Buah Kapal di masyarakat nelayan (laut) di Pulau Jawa (Cirebon, Tegal dan
Pasuruan). Mata pencaharian alternatif yang ada, lebih banyak dilakukan
oleh anggota keluarga seperti istri dan anak. Mereka berprofesi sebagai
pedagang ikan di pasar atau tenaga kerja di tempat pengolahan ikan. Perlu
diberi perhatian dalam hal ini adalah pada masyarakat nelayan di Medan dan
Pasuruan. Di kedua wilayah tersebut belum dijumpai masyarakat nelayan yang
melakukan aktivitas ekonomi di luar bidang perikanan.
Masyarakat nelayan yang diteliti juga memiliki pemahaman
bahwa dalam aktivitas kehidupan ekonominya berlaku kekuatan, proses dan
hukum-hukum ekonomi. Hal ini terbukti dari kesadaran mereka tentang adanya
pengaruh berupa peningkatan hasil tangkapan melalui peningkatan kemampuan alat
tangkap dan perahu atau kapal yang dimilikinya. Disamping itu kesadaran
akan hukum-hukum ekonomi yang terjadi pada usaha penangkapan ikan disikapi juga
sebagai penambahan armada. Semakin banyak alat tangkap yang digunakan
diyakini memperbesar kemungkinan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak.
Namun demikian kesadaran akan hal tersebut tidak
diimbangi oleh tersedianya kemudahan bagi para nelayan (kecuali di Pasuruan)
untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan formal atau pemerintah. Dalam
hal ini mereka akhirnya terpaksa berusaha memelihara peralatan penangkapan
mereka semaksimal mungkin sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu lebih
lama. Cara lain adalah dengan meminjam pada pedagang ikan, cara yang membuat
kembali terjalinnya ikatan patron-klien.
Secara umum, menurut nelayan yang dimaksud dengan kerja
adalah suatu keperluan (kegiatan) untuk dapat menghidupi keluarga. Bagi
masyarakat nelayan di wilayah Lembata ditambah pula sebagai tugas suci, hal ini
terutama dalam usaha penangkapan ikan paus.
Terkait dengan pandangan masyarakat tentang kekayaan,
disebutkan oleh mereka bahwa kekayaan adalah rezeki dari Yang Maha Kuasa tetapi
dalam mendapatkannya diperlukan usaha. Indikator kekayaan secara umum
adalah bila seorang anggota masyarakat nelayan mampu memiliki rumah bagus, alat
tangkap ikan yang banyak dan sepeda motor. Hal ini yang membuat pedagang
atau juragan, yang umumnya memiliki harta benda seperti yang disebutkan,
menjadi profesi yang dicita-citakan oleh nelayan. Namun demikian, dijumpai
pula nelayan yang berpandangan bahwa indikator kekayaan adalah kecukupan
pangan, sandang dan perumahan.
Kemudian menurut sebagian besar nelayan, sistem gotong
royong adalah kerja sama-sama menyelesaikan pekerjaan yang besar.Dinyatakan
pula oleh mereka bahwa sistem ini baik terutama dalam melaksanakan pekerjaan
padat karya seperti pembuatan jalan RW di lingkungan perumahan. Namun
demikian pada saat ini diketahui bahwa pada sebagian besar masyarakat nelayan,
terutama nelayan berusia muda, terlihat ada kecenderungan berkurangnya
penggunaan sistem gotong royong sejak tahun 1998 kecuali di wilayah Pasuruan.
Bahkan di Cirebon, masyarakat nelayan menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai
waktu lagi untuk melakukan aktivitas gotong royong.Sementara itu, sistem gotong
royon yang masih berlaku dalam kegiatan penangkapan ikan paus yang dilakukan
oleh masyarakat nelayan di desa Lamalera, Kabupaten Lembata tampaknya sangat
terkait erat dengan tingginya tingkat ketaatan mereka terhadap pemuka agama
setempat.
Dimensi Hukum
Penggalian informasi dimensi hukum didapat dari pandangan
masyarakat nelayan tentang beberapa hal yang pada intinya mencakup
aktivitas-aktivitas yang berfungsi di lapangan sebagai pengendalian sosial (social
control dan diuraikan sebagai berikut:
Terkait dengan pengaturan di dalam kegiatan penangkapan
ikan, di masyarakat Lembata, NTT terdapat tradisi penangkapan ikan paus dalam
bentuk hukum adat yang mengatur/melarang penggunaan alat-alat modern (misalnya
perahu bermotor atau bom). Oleh karena itu, hingga saat ini kegiatan
penangkapan ikan paus tetap berlangsung secara tradisional menggunakan tombak
(tempuling) dan menggunakan perahu tanpa motor.
Tidak ditemukan hukum adat yang masih berlaku atau pernah
ada dalam kegiatan penangkapan ikan pada masyarakat yang diteliti di wilayah
lainnya. Pengaturan tentang penangkapan ikan yang diketahui masyarakat
adalah pengaturan positif, berasal dari pemerintah seperti larangan penangkapan
ikan menggunakan bom dan listrik. Pengaturan tentang penyelesaian konflik
yang diatur secara hukum adat juga tidak ada kecuali di wilayah Kabupaten
Lembata dan Bone. Penyelesaian konflik juga sebatas dalam bentuk
musyawarah dan jika tidak dapat diselesaikan dengan cara ini langsung
diserahkan kepada pihak yang berwajib.
Dimensi Politik
Kajian atas dimensi politik bertujuan untuk melihat pola
kekuasaan, wewenang dan kepemimpinan yang ada pada masyarakat
nelayan. Pada akhirnya, pola yang didapat akan menentukan tingkat
keberdayaan masyarakat nelayan yang bersangkutan itu sendiri.
Pada sebagian besar masyarakat nelayan yang diteliti,
ditemukan anggapan bahwa semua partai politik adalah sama. Mereka tidak
mengetahui bagaimana hubungan antar partai politik tersebut dalam hubungannya
dengan sistem pemerintahan yang ada di wilayah mereka.Mereka juga beranggapan
bahwa bukan suatu hal yang penting untuk mengetahui kekuatan partai politik
lokal ataupun nasional. Hal yang penting bagi mereka adalah siapapun
yang bertugas di pemerintahan diharapkan dapat mensejahterakan masyarakat
nelayan. Hal ini tercermin dari pendapat mereka yang menyatakan bahwa
masyarakat nelayan menerima dengan baik program yang disampaikan, baik oleh
pemerintah ataupun LSM, dengan catatan program tersebut bertujuan meningkatkan
kesejahteraan mereka.
Di sebagian besar wilayah penelitian belum tampak
organisasi masyarakat nelayan (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia - HNSI) yang
dapat berfungsi dengan baik. Pandangan ini muncul dari pendapat masyarakat
nelayan, yang menyatakan bahwa mereka belum banyak memperoleh bantuan terhadap
kegiatan ekonomi mereka dari organisasi tersebut. Bantuan yang banyak
mereka ungkap terutama terkait dengan pengadaan alat tangkap. Berfungsinya
HNSI hanya terlihat di masyarakat nelayan di Medan. Organisasi nelayan di
wilayah ini telah berhasil memperjuangkan tersedianya kompleks perumahan bagi
masyarakat nelayan. Pembangunan perumahan tersebut dilakukan pemerintah
untuk masyarakat nelayan dalam bentuk kredit di suatu lembaga keuangan formal
(bank). Perumahan tersebut dilengkapi dengan fasilitas penjemuran jaring
bagi nelayan dan fasilitas lainnya seperti ruang pertemuan bagi nelayan
(pendopo /rumah terbuka), toko peralatan penangkapan ikan dan kebutuhan
pokok sehari-hari bagi warga setempat disamping sarana transportasi yang cukup
memadai berupa jalan yang beraspal.
Kepemimpinan yang baik menurut nelayan adalah cara
seseorang atau pimpinan masyarakat yang di dalam memimpin masyarakatnya
disertai dengan menunjukkan teladan yang baik. Sedangkan latar belakang
sosial budaya kekuatan politik dalam sistem pemerintahan di tingkat kecamatan
atau desa dimana responden berada dipengaruhi oleh latar belakang agama (ajaran
Islam dan Kristen - khusus untuk wilayah Kabupaten Lembata) serta budaya
setempat.
Dimensi Tingkah Laku
Dimensi ini merupakan kajian sosial budaya dilihat dari
perspektif individu dan bukan sebagai anggota masyarakat yang terikat oleh
norma-norma yang dibentuk oleh masyarakat dimana si individu itu hidup dan tinggal. Hal
ini perlu didalami semenjak ada beberapa faktor kepribadian seseorang yang
tidak tergantung pada perannya didalam suatu masyarakat. Untuk itu,
didalam dimensi ini kajian difokuskan pada penggalian informasi yang terkait
dengan pendapat individu dalam masyarakat tentang: (1) azas-azas kehidupan dan
(2) perilaku dan tindakan. Pengetahuan tentang kedua hal tersebut
merupakan informasi yang esensial di dalam arahan kebijakan tentang metode
pendampingan di lingkup program atau kegiatan pembangunan berbasis pemberdayaan
masyarakat.
Pada seluruh wilayah penelitian ditemukan bahwa pedoman
utama responden dalam menjalani kehidupan adalah ajaran agama serta budaya
setempat. Kemudian, tertangkap pula ungkapan sebagian besar masyarakat
nelayan jika mereka akan menyambut baik inisiatif pengaturan sosial ekonomi
dari pemerintah atau LSM, asalkan bertujuan membantu atau meningkatkan
kesejahteraan mereka.
Sebagian besar masyarakat nelayan di seluruh wilayah
penelitian juga menyatakan bahwa secara umum perilaku dan tindakan masyarakat
adalah baik. Sejauh ini tidak pernah terjadi penyimpangan perilaku dan tindakan
berarti dalam kehidupan sehari-hari masyarakat nelayan.Kebiasaan minum-minuman
keras di masyarakat nelayan hanya dianggap sebagai kegiatan dengan latar belakang
mencari hiburan saja. Namun demikian, terdapat pandangan dengan nada yang
cukup berbeda, baik dari informan masyarakat nelayan maupun tokoh masyarakat,
yaitu masih perlunya penyadaran bagaimana seharusnya hidup bermasyarakat pada
masyarakat nelayan terutama generasi mudanya.
Informasi-informasi tersebut di atas dapat dijadikan
indikasi bahwa di masyarakat nelayan telah terjadi ”pemberontakan” atas
nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku selama ini. Pertentangan
tersebut tampak dari pernyataan yang berbeda arah antara kelompok anggota
masyarakat yang tua dengan generasi sesudahnya. Perbedaan ini juga
merupakan akibat dari adanya difusi kebudayaan dari luar daerah, yang diperoleh
dari kemajuan sarana komunikasi dan informasi pada saat ini (misal: adanya
siaran televisi dipraduga turut berperan didalam meningkatkan konsumerisme
anak-anak nelayan).
Keragaan Sosial Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat Nelayan
Berdasarkan uraian tentang pandangan atas berbagai hal
serta kehidupan masyarakat di dimensi-dimensi yang dianalisis, maka dapat
disimpulkan bahwa pada beberapa dimensi atau kondisi sosial budaya yang
dikaitkan dengan upaya pemberdayaan masyarakat nelayan laut di Indonesia,
tampaknya masih memiliki ciri-ciri umum masyarakat pedesaan. Namun demikian,
sebagian kondisi sosial budaya juga telah terjadi proses transisi dari
masyarakat yang berkarakter masyarakat pedesaan menjadi masyarakat dengan
karakter masyarakat urban (perkotaan). Karakter masyarakat
pedesaan di antaranya adalah tingkat konflik dan persaingan yang tinggi,
kegiatan bekerja merupakan syarat penting untuk dapat bertahan hidup, masih
kentalnya sistem tolong menolong dan jiwa gotong-royong serta masih berjalannya
sistem musyawarah yang diteladani oleh tokoh-tokoh masyarakat. Sebaliknya,
masyarakat perkotaan pada umumnya tidak lagi memiliki karakter masyarakat
pedesaan sebagaimana yang dimaksud. Adapun ciri-ciri umum yang didapat
dari masyarakat nelayan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Pada dimensi kesehatan, budaya hidup sehat belum tercipta
dalam kehidupan sosial budaya masyarakat nelayan. Dalam hal ini, mereka baru
sebatas mencapai taraf memahami aspek-aspek yang membentuk budaya hidup
sehat. Beberapa hal yang dinyatakan dan merupakan suatu pandangan belumlah
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh sebagian besar
masyarakat. Sebagai contoh, pentingnya hidup sehat tidak diimbangi dengan
pengobatan yang menyeluruh dan baik, meskipun di beberapa lokasi disebabkan
pula oleh kendala biaya dan ketiadaan fasilitas yang terkait. Sanitasi
rumah dan lingkungan juga merupakan cerminan kondisi sosial budaya masyarakat
tersebut. Sementara, terbentuknya budaya hidup sehat dalam kehidupan
masyarakat akan mendukung upaya mengarahkan masyarakat nelayan menjadi
sumberdaya manusia yang berkualitas.
Pada dimensi ekonomi, kehidupan masyarakat nelayan di
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya masih sangat dicirikan oleh aktivitas ekonomi
dengan teknologi (alat tangkap) sederhana dan minimnya ketersediaan mata
pencaharian alternatif. Disamping itu, kelembagaan ekonomi dan
aturan-aturan ekonomi yang mampu dipahami juga belum dijalankan dan cenderung
belum mengarah pada efisiensi kegiatan ekonomi (penangkapan ikan) serta
pemerataan distribusi hasilnya. Masih kuatnya ikatan patron-klien dan belum
menyentuhnya saluran atau lembaga keuangan formal merupakan penyebab utama
bentuk kehidupan ekonomi masyarakat nelayan pada saat ini. Lebih lanjut, tidak
ditemukannya ikatan patron-klien di beberapa masyarakat, lebih
mencirikan masyarakat bersangkutan masih belum mencapai tingkat budaya industri
yang kuat (seperti di Medan) atau bahkan belum memiliki budaya industri
(seperti di Lembata). Dengan demikian karakter masyarakat pedesaan dalam
hal ini masih sangat kental sebagai ciri sosial budaya masyarakat nelayan.
Hasil penggalian kondisi ekonomi dari segi gotong royong
dan kekayaan juga mendapatkan suatu ciri umum masyarakat nelayan yang
diteliti. Dari sisi pandangan dan kebiasaan melakukan kegiatan gotong
royong, tampak bahwa masyarakat nelayan sedang mengalami transisi dari
masyarakat pedesaan menuju masyarakat urban. Sedangkan pandangan tentang
kekayaan menunjukkan ciri umum masyarakat pedesaan di Indonesia, bahwa orang
yang bisa bekerja keras dan akhirnya berhasil seminimal mungkin mendapat
bantuan dari orang lain sangat dinilai tinggi dalam masyarakat
(Koentjaraningrat, 1964).
Pengkajian dimensi hukum juga menunjukkan bahwa secara
umum sedang terjadi transisi sosial budaya masyarakat nelayan, dari masyarakat
pedesaan menjadi masyarakat urban. Pada umumnya di masyarakat pedesaan,
aturan-aturan dalam bentuk hukum adat masih ada dan melekat dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat, sesuatu yang saat ini sudah tidak lagi dijumpai di
masyarakat nelayan kecuali di Lembata, NTT. Sementara melekatnya karakter
masyarakat pedesaan tampak dari masih tingginya konflik potensial antar
masyarakat nelayan yang menggunakan alat tangkap yang berbeda. Pada
masyarakat pedesaan, konflik dan persaingan seringkali muncul saat masyarakat
dihadapkan pada perebutan sumberdaya.
Kajian atas dimensi politik, mendapatkan bahwa penanganan
konflik yang telah melibatkan pihak luar juga merupakan ciri dari suatu
masyarakat yang sedang mengalami transisi sosial budaya. Masuknya pihak
luar ke dalam penyelesaian konflik dan terkadang menentukan kehidupan
masyarakat secara umum menunjukkan ciri lemahnya akses dan kepedulian
masyarakat nelayan terhadap upaya mendapatkan ”kekuasaan” dalam mengelola
kehidu\pannya sendiri. Kondisi ini juga menunjukkan tidak adanya kekuatan
atau tokoh-tokoh yang sanggup mengarahkan masyarakat untuk berdaya serta di
sisi lain juga mendukung kecenderungan telah lemahnya sistem gotong royong pada
saat ini di masyarakat nelayan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil kajian menunjukkan bahwa masyarakat nelayan masih
memiliki karakter masyarakat pedesaan. Namun demikian, telah tampak pula
adanya transisi sosial budaya dari masyarakat pedesaan menuju masyarakat urban.
Menyikapi karakter sosial budaya masyarakat nelayan yang
mencirikan suatu masyarakat pedesaan, maka diperlukan arahan kebijakan yang
mampu menggerakkan kearifan tradisional masyarakat nelayan yang difasilitasi
oleh pemerintah. Sebagai contoh adalah program pengelolaan sumberdaya
kelautan dan perikanan yang berdasar pada konsep co-management. Masyarakat
pedesaan pada dasarnya merupakan masyarakat yang sanggup bekerja keras, namun
untuk itu diperlukan pendampingan dalam perbaikan cara-cara bekerja agar hasil
yang diperoleh secara ekonomis efisien. Konsep pembangunan ini juga tidak
mengabaikan sistem masyarakat yang secara positif mampu mendukung keberhasilan
program pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat.
Hasil yang mencirikan suatu proses transisi dari
masyarakat pedesaan menuju masyarakat urban perlu disikapi dengan arahan
kebijakan yang mampu menggerakkan terjadinya internalisasi budaya industri ke
dalam kehidupan masyarakat nelayan. Program-program pelatihan dan penciptaan
mata pencaharian alternatif merupakan contoh arahan kebijakan yang diperlukan
dalam hal ini. Mata pencaharian alternatif tersebut sangat penting untuk
menggerakkan potensi sifat kerja keras yang dimiliki oleh masyarakat nelayan
pada dasarnya
DAFTAR PUSTAKA
Cernea, M.M.,
1988. Sosiologi Untuk Proyek-Proyek Pembangunan.dalam M.M. Cernea
(Ed). Mengutamakan Manusia Dalam Pembangunan; Variabel-Variabel Sosiologi di
dalam Pembangunan Pedesaan. pp. 3-26. Publikasi Bank Dunia.Penerjemah;
B.B.Teku. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Danim, S. 2003. Metode Penelitian Untuk Ilmu-Ilmu Perilaku. Penerbit Bumi
Aksara. Jakarta. 235 hal.
Hikmat, R.H. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press.
Bandung. Cetakan Pertama. 260 hal.
Koentjaraningrat. 1994. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan Kebudayaan.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 149 hal.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Penerbit Rineka Cipta.
Bandung. 391 hal.
Koentjaraningrat. 1964. Masyarakat Desa di Indonesia. Yayasan
BPFE.Universitas Indonesia. Jakarta. hal. 354 – 370.
Masinambouw, E.K.M (Ed.). 1997. Koentjaraningrat dan
Antropologi di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 389
hal.
Nasution, Z., T.T.
Hartono, Sastrawidjaja, Mursidin, Mahyudin, M. Suherman dan Noor,
M. 2004. Riset Sosio Antropologi Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat
Nelayan. Laporan Teknis. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi
Kelautan dan Perikanan, BRKP – DKP. Jakarta.
Susanto, A.S.
1984. Sosiologi Pembangunan. Penerbit Binacipta. Jakarta. 191 hal.
Taryoto, A. 1999. Internalisasi Aspek-Aspek Sosial Budaya dalam Proses
Industrialisasi Pertanian. dalam I.W.Rusastra et al (Eds.).
Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Hal. 575-582. Pusat
Penelitian Sosek Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Jakarta.
Wiradi, G., 1997. Rekayasa Sosial Dalam Menghadapi Era Industrialisasi
Pertanian. dalam T. Sudaryanto et al (Penyunting). Prosiding
Industrialisasi, Rekayasa Sosial dan Peranan Pemerintah Dalam Pembangunan
Pertanian. Hal.63-70. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Himpitan Rentenir
http://www.antara.co.id/arc/2007/3/26/nelayan-bayah-lebak-di-tengah-himpitan-rentenir
Indrawadi, (2009)Nasib Nelayan dan Potensi Kelautan
http://www.geocities.com/minangbahari/artikel/nasibnelayan.html
Kearifan Tradisional Masyarakat Nelayan Lindungi Laut Kompas.Com Kamis, 26
Maret 2009, Jakarta
Mansur dan Mulyana (2007) Himpitan Rentenir
http://www.antara.co.id/arc/2007/3/26/
nelayan-bayah-lebak-di-tengah-himpitan-rentenir
Ninda, Model Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Miskin Dalam Pengembangan
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Laut Universitas Bengkulu
http://www.inherent-unib.net/simawa, Generated: 18 March, 2009, 16:18
Pangeman, Adrian P dkk (2002).Sumber Daya Manusia (Sdm) Masyarakat Nelayan
Makalah Kelompok A /TKL-Khusus Program Pasca Sarjana IPB
http://tumoutou.net/702_05123/group_a_123.htm
Solihin A., (2004) Musim Paceklik Nelayan dan Jaminan Sosial
http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=7 diakses tanggal 27 Maret 2009
Ulumuddin, Ihya (2009) “Duapuluh Persen Nelayan Sumut Tidak Melaut”
Analisa, analisadaily.com Selasa, 27 Januari 2009
0 comments