Open top menu
Tuesday 21 May 2013



PENDAHULUAN
Sejak dari dahulu sampai sekarang, pekerjaan nelayan merupakan pekerjaan turun temurun dan umumnya tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Dalam masyarakat nelayan ditemukan adanya kelas pemilik dan kelas pekerja. Kelas pemilik yang dapat dinyatakan sebagai juragan, kesejahteraannya relatif lebih baik karena menguasai faktor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap maupun faktor pendukungnya seperti es, garam dan lainnya. Kelas pekerja atau penerima upah dari pemilik merupakan mayoritas, dan kalaupun mereka berusaha memiliki sendiri alat produksi, umumnya masih sangat konvensional, sehingga produktivitasnya kurang berkembang, “...kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan”. (Ninda, 2009). Menurut data, jumlah nelayan di Sumut sekitar 321.000 orang yang tersebar di 13 kabupaten dan kota, dan dari jumlah tersebut, nelayan tradisional mencapai 70 persen, nelayan menengah 20 persen dan nelayan skala besar 10 persen. Berarti, nelayan yang termarginalkan adalah sekitar 70 persen dari jumlah nelayan (sekitar 224 ribu lebih) nelayan masih berada di bawah garis kemiskinan. (Ulumuddin, 2009) Dengan demikian pembahasan masyarakat nelayan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah nelayan tradisonal.
Waktu bekerja nelayan harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari satu bulan namun sayangnya yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari, sisanya
mereka relatif menganggur. Kenyatannya, bila perairan di Sumatera utara dilanda angin barat daya yang bertiup cukup kencang, mengakibatkan terjadi ombak besar, khususnya di wilayah pantai barat seperti Sibolga, Tapanuli Tengah, Nias dan Tapanuli Selatan dengan ketinggian sekitar empat meter. Sedangkan di wilayah pantai timur seperti Belawan, Deli Serdang, Asahan dan Tanjung Balai, ketinggian ombaknya sekitar dua meter. Kondisi itu menyebabkan nelayan di Sumut yang umumnya masih tergolong nelayan tradisional tidak berani melaut karena khawatir terhadap keselamatan jiwa. Namun, sebagian nelayan tetap memaksakan diri melaut meski harus menghadapi besarnya ombak dan tidak mendapatkan ikan yang cukup banyak. Kelompok nelayan ini tetap memaksakan diri karena kebutuhan rumah tangga disebabkan tidak memiliki uang pada masa kritis. "Mereka (nelayan) berprinsip, lebih baik mati di laut dari pada dapur tidak berasap," (Ulumuddin, 2009).
Nampaknya masyarakat nelayan sulit dilepaskan dari jebakan kemiskinan, karena mereka sering dihadapkan pada musim paceklik, dan untuk mengatasi masalah di musim paceklik ini, berbagai usaha dilakukan nelayan, contohnya adalah mereka menjual perhiasan istri demi menyambung hidup keluargnya ataupun meminjam pada rentenir (Solihin, 2004). Potret kehidupan nelayan kecil di pesisir memang belum terlepas dari jerat rentenir, bahkan kian hari jerat itu dirasakan semakin melilit. Utang ke rentenir telah membuat nelayan terjebak dalam kemiskinan terstruktur, sehingga kehidupan nelayan tak kunjung sejahtera. Lebih parah lagi, ”pulang melaut umumnya para nelayan hanya cukup membeli beras sebanyak dua liter”, karena tersangkut pinjaman rentenir dengan bunga yang ditetapkan mereka. (Sinar Indonesia Baru, 27 Maret 2008)
Umumnya, nelayan bisa bertahan hanya dan hanya jika didorong semangat hidup yang kuat dengan motto kerja keras agar kehidupan mereka menjadi lebih baik. Nelayan tradisional berjuang keras melawan terpaan gelombang laut yang dahsyat pada saat pasang naik untuk mendapatkan ikan. Dengan hanya mengandalkan kemampuan mesin dompeng misalnya, nelayan dapat berada pada radius 500 M dari pinggir pantai dan dengan cara seperti ini nelayan akan mendapatkan lebih banyak dibandingkan dengan bila menangkap ikan di bibir (tepi pantai) pada radius 200 M, yang ikannya sudah langka. (Kompas Com, 26 Maret 2009)
Pekerjaan menangkap ikan dikerjakan oleh lelaki karena merupakan pekerjaan yang penuh resiko, sehingga keluarga yang lain tidak dapat membantu secara penuh. Kalaupun nelayan pekerja memiliki alat produksi sendiri ternyata alat tangkap ikan yang dimiliki tersebut belum dilengkapi dengan alat teknologi tangkap ikan, dan modal usaha, sehingga penghasilannya tidak seperti bila mereka menggunakan alat teknologi tangkap ikan yang baik. Bagi para nelayan memang tidak ada pilihan lain, karena pekerjaan yang berhadapan dengan ancaman gelombang laut, ombak, cuaca, dan kemungkinan terjadi karam saat akan melaut ke tengah lautan untuk menangkap ikan adalah pekerjaan turun temurun tanpa pernah belajar sebagai nelayan yang modern. Dengan demikian sangat diharapkan sekali walaupun harapan tersebut :...bagaikan kerakap tumbuh di batu, bahwa mereka perlu modal usaha untuk perbaikan dan peningkatan kesejahteraan hidup.(Pangeman, Adrian P dkk. 2002). Kenyataannya, pada usia meningkat remaja anak nelayan mulai diajak berlayar dan ikut melaut, sehingga merka jarang yang sekolah. Kini harus dipahami bahwa kehidupan nelayan memerlukan perhatian yang multi dimensi. Tantangan yang terbesar adalah bagaimana membangun kehidupan nelayan menjadi meningkat kesejahterannya. Besar kemungkinannya hal ini dapat dicapai melalui pendidikan yang akan mengangkat harkat dan martabat kehidupan masyarakat nelayan maupun masyarakat lainnya yang terkait dengan sumber daya kelautan dan pesisir. “Usaha ke arah ini haruslah bermuara pada peningkatan kemakmuran nelayan, terutama nelayan kecil dan petani ikan” (Indrawadi, 2009).
Dengan demikian, masalah sosial budaya yang terdapat pada kehidupan nelayan antara lain adalah: a) Rendahnya tingkat pendidikan, b) Miskin pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaannya, c) Kurangnya tersedia wadah pekerjaan informal dan d) Kurangnya daya kreativitas, serta e) Belum adanya perlindungan terhadap nelayan dari jeratan para tengkulak.
Melihat kondisi kehidupan nelayan yang tidak memungkinkan anak nelayan memasuki sekolah formal karena keberadaan anak nelayan dimaksudkan untuk membntu ayahnya mencari ikan ke laut. Kini dlpertanyakan bagaimanakah model pendidikan bagi anak nelayan, apakah pendidikan anak nelayan memerlukan pendidikan khusus sebagaimana halnya juga dengan anak petani miskin yang membantu orang tuanya di sawah? Melihat kehadiran anak nelayan di sekolah formal lebih banyak absennya karena ikut melaut membantu orang tuanya, apakah anak nelayan perlu mendapat pendidikan khusus di sekolah formal? Ataukah anak nelayan diberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan membantu orang tua kelaut?
Pemberdayaan anak nelayan ternyata tidak bisa diseragamkan, tetapi harus disesuaikan dengan kondisi aktual masyarakat setempat. Misalnya saja pendidikan manajemen keuangan yang diharapkan memungkinkan mereka terbebas dari jeratan tengkulak, harus diberikan dengan memperhatikan budaya dan kondisi psikologis mereka. Jika ini tidak diperhatikan, dipastikan program pemberdayaan pendidikan akan gagal karena pemberdayaan pendidikan anak nelayan tidak terlepas dari pemberdayaan masyarakat pesisir. Persoalan yang dihadapi adalah, sebagian masyarakat pesisir masihberanggapan bahwa pendidikan itu tidak penting. Yang perlu dilakukan adalah membalik paradigma nelayan selama ini, dengan menyatakan bahwa pendidikan itu penting.
Dengan demikian beralasanlah bila anak nelayan perlu dicarikan model pendidikan dasar yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan kehidupan mereka. Kini dipertanyakan bagaimanakah model pendidikan dasar yang sesuai bagi anak nelayan? Melalui penelitian khusus untuk pendidikan dasar bagi anak masyarakat nelayan, akan terungkap kemungkinan bentuk pendidikan yang sesuai bagi masyarakat nelayan.
Masyarakat nelayan dalam penelitian ini adalah masyarakat nelayan trdisional Sumatera Utara. Model yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah model pendidikan dasar bagi anak nelayan, bukanlah model pendidikan dasar pada sekolah formal, dan kemungkian besar berbeda dengan pendidikan dasar yang sudah ada. Kini masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah alternatif model pendidikan dasar pada masyarakat nelayan? Tujuan penelitian ini adalah mengkaji model pendidikan dasar untuk anak masyarakat nelayan agar mereka dapat sekolah dan terpenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat nelayan, dan lebih jauh lagi pada gilirannya kelak mereka akan terbebas dari kemiskinan.





DIMENSI-DIMENSI PANDANGAN ATAS BERBAGAI HAL SERTA KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN

Dimensi Pendidikan
Mengingat masyarakat nelayan adalah masyarakat yang memiliki sifat-sifat khusus, baik dari segi pemahaman terhadap pendidikan, tingkat kesejahteran, miskinnya pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaan, kurang kreatif, maupun kurang terencana manajemen keuangan untuk menentukan masa depan, maka model yang dianut adalah model pemberdayaan nelayan melalui pendidikan berbasis kebutuhan komunitas dan berbasis masyarakat nelayan. Konsep pendidikan berbasis komunitas nelayan pada dasarnya mengacu kepada konsep pemberdayaan komunitas nelayan, yaitu bagaimana membuat komunitas pada masyarakat nelayan memiliki pandangan perlunya pendidikan dasar bagi anak nelayan. Hal ini disebabkan sebagian masyarakat pesisir masih beranggapan bahwa pendidikan itu tidak penting dan kini saatnya menyadarkan masyarakat nelayan bahwa bahwa pendidikan itu penting.
Pada tahun 1970-an Ivan Illich pernah melontarkan gagasan kontroversial tentang masyarakat tanpa sekolah (Deschooling Society). Illich meramalkan, jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar, institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial budaya yang luas, tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah. Jadi pengorganisasian pendidikan sistem formal bukanlah menjadi satu-satunya jalan keluar. Oleh karena itu model pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan yang harus dikembangkan merupakan model pendidikan non formal yaitu pendidikan dasar yang mampu menyelesaikan masalah yang terjadi pada masyarakat nelayan, yang responsif terhadap penyelesaian problem pendidikan sesuai dengan konteks masyarakat nelayan itu sendiri.
Dalam model pendidikan dasar ini dibentuk Sanggar Pembelajaran yang dikelola oleh warga nelayan, seperti home scholing dan dilaksanakan oleh kelompok kecil warga nelayan, yang terdiri dari 2-3 keluarga. Dari berbagai Sanggar Pembelajaran ini disatukan lagi dalam kelompok yang lebih besar yang diberi nama Kelompok Sanggar Komunitas Nelayan (KSKN), yang terdiri dari 10 Sanggar Pembelajaran. Dari berbagai KSKN tersebut disatukan dalam wadah Pendidikan Dasar Anak Nelayan (PDAN), yang selanjutnya dihubungkan dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) seperti Paket A dan B untuk mendapatkan legalitas sertifikat telah mengikuti pendidikan dasar. Sertifikat ini dapat digunakan untuk melanjtkan pada pendidikan mengah. Berkenaan dengan tenaga pendidik yang bertugas sebagai pembina dan tutor diusulkan untuk mendapat banruan dari Diknas setempat.
Kesimpulan :
·         Banyak siswa pendidikan dasar yang drop out dari sekolah formal dan umumnya berasal dari anak nelayan.
·         Kurangnya peran masyarakat terhadap anak didik yang drop out kemungkinan besar masing-masing keluarga larut oleh kesibukannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
·         Fasilitas yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin walaupun tidak mencukupi, dan dorongan untuk sekolah, cukup memuaskan, karena keberadaan sekolah dirasakan berdampak pada meningkatnya kecerdasan anak-anak yang telah bersekolah.
·         Para tokoh nelayan menginginkan perlunya merancang bentuk pendidikan yang memungkinkan anak nelayan dapat sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, dan sekaligus dapat membantu orang tuanya bekerja di laut.
·         Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk diberikan kepada anaknya antara lain berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga, dengan harapan kelak anaknya dapat mengangkat harkat dan martabat orang tuanya sekaligus mengangkat taraf hidup masyarakat nelayan.
·         Keterampilan khusus yang diinginkan orang tua untuk anak perempuannya, antara lain menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang, dengan harapan selain membantu ibunya anak perempuan nelayan pada suatu saat nanti dapat memacu kreativitasnya untuk bekerja di bidang lain, selain sebagai anak nelayan.
·         Posisi sekolah di lapangan ternyata cukup strategis, mudah dijangkau walaun mungkin hanya jalan stapak, ataupun malah becek dan berlumpur..
·         Masyarakat nelayan memiliki sifat khusus yang memungkinkan anak tidak dapat sekolah karena lebih banyak membantu orang tua kelaut. Selain itu rendahnya tingkat pengetahuan membuat rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan. Kondisi seperti ini diperparah lagi dengan tidak adanya perencanaan pengelolaan keuangan yang baik untuk masa depan, dan tidak terpacunya kreativitas karena kepasrahan dan terbatasnya wawasan meningkatkan taraf hidup mereka sendiri
·         Model yang diadopsi untuk pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan adalah model pendidikan berbasis kebutuhan komunitas dan berbasis masyarakat nelayan dengan menyadarkan masyarakat nelayan akan pentingnya pendidikan bagi generasi penerus

Dimensi Kesehatan Masyarakat
Penggalian informasi tentang pandangan, perilaku dan tindakan sehari-hari masyarakat nelayan yang terkait dengan kesehatan dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia di sektor kelautan dan perikanan (nelayan). Oleh karena itu, informasi yang dikumpulkan adalah pandangan masyarakat nelayan tentang hidup sehat, sakit, cara mengatasi penyakit, pantangan atau kebiasaan makan dan sanitasi perumahan dan lingkungan.
Hidup sehat bagi masyarakat nelayan memiliki pengertian sebagai suatu keadaan di mana mereka tidak sakit dan dapat bekerja untuk melaksanakan kegiatan penangkapan ikan. Hidup sehat juga diartikan oleh mereka sebagai hidup tanpa kekurangan sesuatu apapun dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan dasar keluarga (sandang, pangan dan papan).
Berdasarkan pendapatnya tentang sakit, masyarakat nelayan pada prinsipnya terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa sakit adalah kondisi kesehatan yang membuat mereka tidak memungkinkan untuk bekerja (ke laut). Sementara untuk kelompok kedua, sakit merupakan kondisi kesehatan yang membuat mereka tidak dapat lagi “berdiri”, atau tidak sanggup lagi untuk melakukan aktivitas sehari-hari di dalam rumah. Jadi, selama masih bisa “berdiri” dan karenanya mereka masih dapat pergi ke laut untuk bekerja, maka kondisi kesehatan seperti itu belum digolongkan sebagai sakit.Anggapan dari kelompok inilah yang secara umum, menurut para nelayan dari kelompok pertama, sebagai penyebab terjadinya kecelakaan di laut.Kelompok nelayan ini menyatakan bahwa kecelakaan laut akibat buruknya cuaca jarang terjadi karena nelayan cukup berpengalaman dalam menentukan layak tidaknya cuaca bagi mereka untuk pergi melaut.
Dalam hal mengatasi penyakit, informasi didapat dari masyarakat tentang pihak yang didatangi untuk dimintai pengobatan (dokter atau dukun) oleh masyarakat serta jenis obat apa (tradisional atau modern) yang dikonsumsi oleh masyarakat. Pada saat ini masyarakat nelayan di wilayah Medan dan seluruh lokasi di Pulau Jawa sebagian besar menyatakan bahwa dukun diperlukan hanya sebagai alternatif pengobatan. Mendatangi dukun hanya dilakukan manakala penyakit yang diderita sesuai dengan keyakinan masyarakat nelayan tidak dapat diobati oleh pengobatan medis, seperti dokter atau bidan. Sementara itu, bagi masyarakat nelayan di wilayah Kabupaten Lembata dukun masih menjadi tujuan utama tatkala mereka sakit. Kebiasaan ini, disamping didasari oleh kepercayaan (sugesti) masyarakat atas kemampuan dukun dalam mengobati penyakit, juga didasari pada pertimbangan biaya pengobatan yang relatif lebih murah dibandingkan dengan dokter atau tenaga medis lainnya (dokter atau mantri). Alasan yang berbeda dikemukakan oleh masyarakat nelayan di wilayah Bone. Mereka masih tetap menggunakan jasa dukun sebagai tujuan utama untuk upaya pengobatan, namun kebiasaan ini lebih didasarkan pada masalah keengganan mereka untuk pergi ke dokter atau Puskesmas, dikarenakan jarak yang jauh dari tempat tinggal mereka (10 km) serta dalam kondisi rusak.
Pada hampir seluruh wilayah, masyarakat nelayan mengemukakan bahwa penggunaan obat-obatan tradisional saat ini cenderung meningkat.Mereka lebih memprioritaskan penggunaan obat-obatan tradisional terlebih dahulu daripada obat-obatan buatan pabrik atau yang diresepkan dokter. Hal ini dilakukan nelayan berdasarkan pertimbangan harga obat tradisional yang lebih murah, disamping praktis digunakan pada saat melaksanakan kegiatan penangkapan ikan (kemasannya lebih tahan air).Perbedaan kecil ditemukan pada masyarakat nelayan di desa contoh di Kota Medan. Nelayan di wilayah ini menganggap bahwa obat-obatan tradisional dan obat buatan pabrik sama pentingnya tergantung penyakit yang diderita.
Jika terdapat sesuatu pantangan atau hal yang tabu maka nelayan pada semua wilayah penelitian mengemukakan bahwa mereka akan mematuhinya sebagai budaya. Sejalan dengan hal ini adalah pendapat Foster dan Anderson (1986). Mereka menyatakan bahwa pada anggota tiap masyarakat, makanan dibentuk secara budaya, yang berarti diperlukan pengesahan budaya dan keaslian untuk sesuatu yang akan dimakan. Makanan yang sebetulnya bergizi baik menjadi tidak boleh dimakan dikarenakan adanya pantangan agama, takhyul, kepercayaan tentang kesehatan, dan suatu peristiwa yang kebetulan dalam sejarah.Makanan ini selanjutnya dikategorikan oleh masyarakat yang bersangkutan sebagai bukan makanan. Pada masyarakat nelayan yang diteliti, pantangan makan atau makanan yang dilarang hanyalah jenis-jenis makanan yang dilarang oleh ajaran agama yang mereka anut (Islam).
Kemudian masyarakat nelayan pada umumnya juga menyatakan bahwa kondisi di dalam dan di sekitar rumah harus bersih agar mereka dapat hidup sehat. Namun demikian keberadaan dan pemilikian fasilitas MCK yang memenuhi standar kesehatan baru dijumpai di masyarakat nelayan Cirebon dan Tegal. Keberadaan fasilitas itu pun ternyata belum mengubah kebiasaan mereka untuk tetap memanfaatkan sungai dan pantai sebagai tempat fasilitas MCK. Sedangkan masyarakat nelayan di wilayah Bone dan Lembata sebagian besar belum memiliki fasilitas MCK keluarga.

Dimensi Ekonomi
Kehidupan ekonomi dalam kaitannya dengan sosial budaya masyarakat nelayan adalah penggalian informasi mengenai: (1) Pengaruh sistem kemasyarakatan terhadap aktivitas kehidupan ekonomi; (2) Cara berpikir, pandangan dan sikap warga masyarakat terhadap aktivitas kehidupan ekonominya; (3) Sikap hidup dari warga masyarakat terhadap kekuatan, proses, dan hukum-hukum ekonomi yang berlaku dalam aktivitas kehidupan ekonominya; (4) Sikap warga masyarakat terhadap kerja, kekayaan dan sistem gotong-royong. Informasi akan hal-hal yang dimaksud diharapkan dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa masyarakat nelayan membentuk dan menjalani kehidupan perekonomiannya.
Khusus di Kabupaten Lembata terdapat pengaturan secara adat yang berlaku dalam kegiatan penangkapan ikan paus. Aturan adat tersebut mulai dari pembuatan perahu, persiapan, pelaksanaan penangkapan dan pembagian hasil tangkapan. Aturan adat ini telah berlaku secara turun temurun dalam masyarakat nelayan di wilayah ini. Sementara untuk wilayah penelitian lainnya saat ini tidak ada aturan ataupun norma yang bersumber dari masyarakat nelayan setempat, di mana aturan tersebut berpengaruh terhadap aktivitas kehidupan ekonomi masyarakat itu sendiri. Aturan hanya ada melalui saluran formal yang bersumber dari pemerintah.
Pedagang memegang peran yang besar pada kegiatan ekonomi nelayan. Kondisi ini dijumpai di seluruh masyarakat nelayan tangkap di Pulau Jawa yang diteliti. Tampak sekali pada masyarakat nelayan di wilayah-wilayah tersebut telah terbentuk hubungan patron klien antara pedagang (patron) dan nelayan (klien). Pada hubungan ini, sesungguhnya nelayan berada pada posisi dirugikan karena ikan hasil tangkapan harus dijual kepada pedagang dengan harga yang ditetapkan secara sepihak oleh pedagang.
Berbeda dengan fakta yang ditemukan di masyarakat nelayan di lokasi penelitian di Pulau Jawa, di Medan pedagang tidak banyak berperan terhadap aktivitas nelayan kecil seperti nelayan pukat. Hal ini disebabkan pedagang memiliki pengalaman buruk, yaitu seringkali mendapat kesulitan (gangguan keamanan) dalam berhubungan dengan nelayan kecil seperti nelayan pukat. Sementara di wilayah Kabupaten Lembata, pedagang bahkan sama sekali belum memiliki peranan, baik pada kegiatan penangkapan ikan ataupun pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari nelayan.
Lembaga keuangan formal dalam hubungannya dengan pengembangan ekonomi masyarakat nelayan, sebagai contoh untuk penyediaan kredit usaha perikanan, di semua wilayah penelitian belum berperanan. Peranan lembaga keuangan (bank) yang dijumpai di wilayah Kota Medan sebatas menyediakan fasilitas kredit perumahan nelayan yang dibangun seperti layaknya program perumahan umumnya. Di wilayah Cirebon dan Tegal, peranan lembaga keuangan lebih dirasakan oleh pedagang. Pedagang dirasakan lebih memahami aturan-aturan atau prosedural yang dikeluarkan dan disyaratkan oleh lembaga keuangan untuk dipenuhi oleh nasabahnya.
Diversifikasi mata pencaharian sebagai salah satu cara nelayan dalam menyikapi kondisi perekonomiannya jarang dijumpai pada individu informan dalam kategori nelayan kecil atau nelayan yang berstatus Anak Buah Kapal di masyarakat nelayan (laut) di Pulau Jawa (Cirebon, Tegal dan Pasuruan). Mata pencaharian alternatif yang ada, lebih banyak dilakukan oleh anggota keluarga seperti istri dan anak. Mereka berprofesi sebagai pedagang ikan di pasar atau tenaga kerja di tempat pengolahan ikan. Perlu diberi perhatian dalam hal ini adalah pada masyarakat nelayan di Medan dan Pasuruan. Di kedua wilayah tersebut belum dijumpai masyarakat nelayan yang melakukan aktivitas ekonomi di luar bidang perikanan.
Masyarakat nelayan yang diteliti juga memiliki pemahaman bahwa dalam aktivitas kehidupan ekonominya berlaku kekuatan, proses dan hukum-hukum ekonomi. Hal ini terbukti dari kesadaran mereka tentang adanya pengaruh berupa peningkatan hasil tangkapan melalui peningkatan kemampuan alat tangkap dan perahu atau kapal yang dimilikinya. Disamping itu kesadaran akan hukum-hukum ekonomi yang terjadi pada usaha penangkapan ikan disikapi juga sebagai penambahan armada. Semakin banyak alat tangkap yang digunakan diyakini memperbesar kemungkinan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak.
Namun demikian kesadaran akan hal tersebut tidak diimbangi oleh tersedianya kemudahan bagi para nelayan (kecuali di Pasuruan) untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan formal atau pemerintah. Dalam hal ini mereka akhirnya terpaksa berusaha memelihara peralatan penangkapan mereka semaksimal mungkin sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu lebih lama. Cara lain adalah dengan meminjam pada pedagang ikan, cara yang membuat kembali terjalinnya ikatan patron-klien.
Secara umum, menurut nelayan yang dimaksud dengan kerja adalah suatu keperluan (kegiatan) untuk dapat menghidupi keluarga. Bagi masyarakat nelayan di wilayah Lembata ditambah pula sebagai tugas suci, hal ini terutama dalam usaha penangkapan ikan paus.
Terkait dengan pandangan masyarakat tentang kekayaan, disebutkan oleh mereka bahwa kekayaan adalah rezeki dari Yang Maha Kuasa tetapi dalam mendapatkannya diperlukan usaha. Indikator kekayaan secara umum adalah bila seorang anggota masyarakat nelayan mampu memiliki rumah bagus, alat tangkap ikan yang banyak dan sepeda motor. Hal ini yang membuat pedagang atau juragan, yang umumnya memiliki harta benda seperti yang disebutkan, menjadi profesi yang dicita-citakan oleh nelayan. Namun demikian, dijumpai pula nelayan yang berpandangan bahwa indikator kekayaan adalah kecukupan pangan, sandang dan perumahan.
Kemudian menurut sebagian besar nelayan, sistem gotong royong adalah kerja sama-sama menyelesaikan pekerjaan yang besar.Dinyatakan pula oleh mereka bahwa sistem ini baik terutama dalam melaksanakan pekerjaan padat karya seperti pembuatan jalan RW di lingkungan perumahan. Namun demikian pada saat ini diketahui bahwa pada sebagian besar masyarakat nelayan, terutama nelayan berusia muda, terlihat ada kecenderungan berkurangnya penggunaan sistem gotong royong sejak tahun 1998 kecuali di wilayah Pasuruan. Bahkan di Cirebon, masyarakat nelayan menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai waktu lagi untuk melakukan aktivitas gotong royong.Sementara itu, sistem gotong royon yang masih berlaku dalam kegiatan penangkapan ikan paus yang dilakukan oleh masyarakat nelayan di desa Lamalera, Kabupaten Lembata tampaknya sangat terkait erat dengan tingginya tingkat ketaatan mereka terhadap pemuka agama setempat.
Dimensi Hukum
Penggalian informasi dimensi hukum didapat dari pandangan masyarakat nelayan tentang beberapa hal yang pada intinya mencakup aktivitas-aktivitas yang berfungsi di lapangan sebagai pengendalian sosial (social control dan diuraikan sebagai berikut:
Terkait dengan pengaturan di dalam kegiatan penangkapan ikan, di masyarakat Lembata, NTT terdapat tradisi penangkapan ikan paus dalam bentuk hukum adat yang mengatur/melarang penggunaan alat-alat modern (misalnya perahu bermotor atau bom). Oleh karena itu, hingga saat ini kegiatan penangkapan ikan paus tetap berlangsung secara tradisional menggunakan tombak (tempuling) dan menggunakan perahu tanpa motor.
Tidak ditemukan hukum adat yang masih berlaku atau pernah ada dalam kegiatan penangkapan ikan pada masyarakat yang diteliti di wilayah lainnya. Pengaturan tentang penangkapan ikan yang diketahui masyarakat adalah pengaturan positif, berasal dari pemerintah seperti larangan penangkapan ikan menggunakan bom dan listrik. Pengaturan tentang penyelesaian konflik yang diatur secara hukum adat juga tidak ada kecuali di wilayah Kabupaten Lembata dan Bone. Penyelesaian konflik juga sebatas dalam bentuk musyawarah dan jika tidak dapat diselesaikan dengan cara ini langsung diserahkan kepada pihak yang berwajib.

Dimensi Politik
Kajian atas dimensi politik bertujuan untuk melihat pola kekuasaan, wewenang dan kepemimpinan yang ada pada masyarakat nelayan. Pada akhirnya, pola yang didapat akan menentukan tingkat keberdayaan masyarakat nelayan yang bersangkutan itu sendiri.
Pada sebagian besar masyarakat nelayan yang diteliti, ditemukan anggapan bahwa semua partai politik adalah sama. Mereka tidak mengetahui bagaimana hubungan antar partai politik tersebut dalam hubungannya dengan sistem pemerintahan yang ada di wilayah mereka.Mereka juga beranggapan bahwa bukan suatu hal yang penting untuk mengetahui kekuatan partai politik lokal ataupun nasional. Hal yang penting bagi mereka adalah siapapun yang bertugas di pemerintahan diharapkan dapat mensejahterakan masyarakat nelayan. Hal ini tercermin dari pendapat mereka yang menyatakan bahwa masyarakat nelayan menerima dengan baik program yang disampaikan, baik oleh pemerintah ataupun LSM, dengan catatan program tersebut bertujuan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Di sebagian besar wilayah penelitian belum tampak organisasi masyarakat nelayan (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia - HNSI) yang dapat berfungsi dengan baik. Pandangan ini muncul dari pendapat masyarakat nelayan, yang menyatakan bahwa mereka belum banyak memperoleh bantuan terhadap kegiatan ekonomi mereka dari organisasi tersebut. Bantuan yang banyak mereka ungkap terutama terkait dengan pengadaan alat tangkap. Berfungsinya HNSI hanya terlihat di masyarakat nelayan di Medan. Organisasi nelayan di wilayah ini telah berhasil memperjuangkan tersedianya kompleks perumahan bagi masyarakat nelayan. Pembangunan perumahan tersebut dilakukan pemerintah untuk masyarakat nelayan dalam bentuk kredit di suatu lembaga keuangan formal (bank). Perumahan tersebut dilengkapi dengan fasilitas penjemuran jaring bagi nelayan dan fasilitas lainnya seperti ruang pertemuan bagi nelayan (pendopo /rumah terbuka), toko peralatan penangkapan ikan dan kebutuhan pokok sehari-hari bagi warga setempat disamping sarana transportasi yang cukup memadai berupa jalan yang beraspal.
Kepemimpinan yang baik menurut nelayan adalah cara seseorang atau pimpinan masyarakat yang di dalam memimpin masyarakatnya disertai dengan menunjukkan teladan yang baik. Sedangkan latar belakang sosial budaya kekuatan politik dalam sistem pemerintahan di tingkat kecamatan atau desa dimana responden berada dipengaruhi oleh latar belakang agama (ajaran Islam dan Kristen - khusus untuk wilayah Kabupaten Lembata) serta budaya setempat.

Dimensi Tingkah Laku
Dimensi ini merupakan kajian sosial budaya dilihat dari perspektif individu dan bukan sebagai anggota masyarakat yang terikat oleh norma-norma yang dibentuk oleh masyarakat dimana si individu itu hidup dan tinggal. Hal ini perlu didalami semenjak ada beberapa faktor kepribadian seseorang yang tidak tergantung pada perannya didalam suatu masyarakat. Untuk itu, didalam dimensi ini kajian difokuskan pada penggalian informasi yang terkait dengan pendapat individu dalam masyarakat tentang: (1) azas-azas kehidupan dan (2) perilaku dan tindakan. Pengetahuan tentang kedua hal tersebut merupakan informasi yang esensial di dalam arahan kebijakan tentang metode pendampingan di lingkup program atau kegiatan pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat.
Pada seluruh wilayah penelitian ditemukan bahwa pedoman utama responden dalam menjalani kehidupan adalah ajaran agama serta budaya setempat. Kemudian, tertangkap pula ungkapan sebagian besar masyarakat nelayan jika mereka akan menyambut baik inisiatif pengaturan sosial ekonomi dari pemerintah atau LSM, asalkan bertujuan membantu atau meningkatkan kesejahteraan mereka.
Sebagian besar masyarakat nelayan di seluruh wilayah penelitian juga menyatakan bahwa secara umum perilaku dan tindakan masyarakat adalah baik. Sejauh ini tidak pernah terjadi penyimpangan perilaku dan tindakan berarti dalam kehidupan sehari-hari masyarakat nelayan.Kebiasaan minum-minuman keras di masyarakat nelayan hanya dianggap sebagai kegiatan dengan latar belakang mencari hiburan saja. Namun demikian, terdapat pandangan dengan nada yang cukup berbeda, baik dari informan masyarakat nelayan maupun tokoh masyarakat, yaitu masih perlunya penyadaran bagaimana seharusnya hidup bermasyarakat pada masyarakat nelayan terutama generasi mudanya.
Informasi-informasi tersebut di atas dapat dijadikan indikasi bahwa di masyarakat nelayan telah terjadi ”pemberontakan” atas nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku selama ini. Pertentangan tersebut tampak dari pernyataan yang berbeda arah antara kelompok anggota masyarakat yang tua dengan generasi sesudahnya. Perbedaan ini juga merupakan akibat dari adanya difusi kebudayaan dari luar daerah, yang diperoleh dari kemajuan sarana komunikasi dan informasi pada saat ini (misal: adanya siaran televisi dipraduga turut berperan didalam meningkatkan konsumerisme anak-anak nelayan).
Keragaan Sosial Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat Nelayan
Berdasarkan uraian tentang pandangan atas berbagai hal serta kehidupan masyarakat di dimensi-dimensi yang dianalisis, maka dapat disimpulkan bahwa pada beberapa dimensi atau kondisi sosial budaya yang dikaitkan dengan upaya pemberdayaan masyarakat nelayan laut di Indonesia, tampaknya masih memiliki ciri-ciri umum masyarakat pedesaan. Namun demikian, sebagian kondisi sosial budaya juga telah terjadi proses transisi dari masyarakat yang berkarakter masyarakat pedesaan menjadi masyarakat dengan karakter masyarakat urban (perkotaan). Karakter masyarakat pedesaan di antaranya adalah tingkat konflik dan persaingan yang tinggi, kegiatan bekerja merupakan syarat penting untuk dapat bertahan hidup, masih kentalnya sistem tolong menolong dan jiwa gotong-royong serta masih berjalannya sistem musyawarah yang diteladani oleh tokoh-tokoh masyarakat. Sebaliknya, masyarakat perkotaan pada umumnya tidak lagi memiliki karakter masyarakat pedesaan sebagaimana yang dimaksud. Adapun ciri-ciri umum yang didapat dari masyarakat nelayan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Pada dimensi kesehatan, budaya hidup sehat belum tercipta dalam kehidupan sosial budaya masyarakat nelayan. Dalam hal ini, mereka baru sebatas mencapai taraf memahami aspek-aspek yang membentuk budaya hidup sehat. Beberapa hal yang dinyatakan dan merupakan suatu pandangan belumlah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh sebagian besar masyarakat. Sebagai contoh, pentingnya hidup sehat tidak diimbangi dengan pengobatan yang menyeluruh dan baik, meskipun di beberapa lokasi disebabkan pula oleh kendala biaya dan ketiadaan fasilitas yang terkait. Sanitasi rumah dan lingkungan juga merupakan cerminan kondisi sosial budaya masyarakat tersebut. Sementara, terbentuknya budaya hidup sehat dalam kehidupan masyarakat akan mendukung upaya mengarahkan masyarakat nelayan menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas.
Pada dimensi ekonomi, kehidupan masyarakat nelayan di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya masih sangat dicirikan oleh aktivitas ekonomi dengan teknologi (alat tangkap) sederhana dan minimnya ketersediaan mata pencaharian alternatif. Disamping itu, kelembagaan ekonomi dan aturan-aturan ekonomi yang mampu dipahami juga belum dijalankan dan cenderung belum mengarah pada efisiensi kegiatan ekonomi (penangkapan ikan) serta pemerataan distribusi hasilnya. Masih kuatnya ikatan patron-klien dan belum menyentuhnya saluran atau lembaga keuangan formal merupakan penyebab utama bentuk kehidupan ekonomi masyarakat nelayan pada saat ini. Lebih lanjut, tidak ditemukannya ikatan patron-klien di beberapa masyarakat, lebih mencirikan masyarakat bersangkutan masih belum mencapai tingkat budaya industri yang kuat (seperti di Medan) atau bahkan belum memiliki budaya industri (seperti di Lembata). Dengan demikian karakter masyarakat pedesaan dalam hal ini masih sangat kental sebagai ciri sosial budaya masyarakat nelayan.
Hasil penggalian kondisi ekonomi dari segi gotong royong dan kekayaan juga mendapatkan suatu ciri umum masyarakat nelayan yang diteliti. Dari sisi pandangan dan kebiasaan melakukan kegiatan gotong royong, tampak bahwa masyarakat nelayan sedang mengalami transisi dari masyarakat pedesaan menuju masyarakat urban. Sedangkan pandangan tentang kekayaan menunjukkan ciri umum masyarakat pedesaan di Indonesia, bahwa orang yang bisa bekerja keras dan akhirnya berhasil seminimal mungkin mendapat bantuan dari orang lain sangat dinilai tinggi dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1964).
Pengkajian dimensi hukum juga menunjukkan bahwa secara umum sedang terjadi transisi sosial budaya masyarakat nelayan, dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat urban. Pada umumnya di masyarakat pedesaan, aturan-aturan dalam bentuk hukum adat masih ada dan melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sesuatu yang saat ini sudah tidak lagi dijumpai di masyarakat nelayan kecuali di Lembata, NTT. Sementara melekatnya karakter masyarakat pedesaan tampak dari masih tingginya konflik potensial antar masyarakat nelayan yang menggunakan alat tangkap yang berbeda. Pada masyarakat pedesaan, konflik dan persaingan seringkali muncul saat masyarakat dihadapkan pada perebutan sumberdaya.
Kajian atas dimensi politik, mendapatkan bahwa penanganan konflik yang telah melibatkan pihak luar juga merupakan ciri dari suatu masyarakat yang sedang mengalami transisi sosial budaya. Masuknya pihak luar ke dalam penyelesaian konflik dan terkadang menentukan kehidupan masyarakat secara umum menunjukkan ciri lemahnya akses dan kepedulian masyarakat nelayan terhadap upaya mendapatkan ”kekuasaan” dalam mengelola kehidu\pannya sendiri. Kondisi ini juga menunjukkan tidak adanya kekuatan atau tokoh-tokoh yang sanggup mengarahkan masyarakat untuk berdaya serta di sisi lain juga mendukung kecenderungan telah lemahnya sistem gotong royong pada saat ini di masyarakat nelayan.

KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil kajian menunjukkan bahwa masyarakat nelayan masih memiliki karakter masyarakat pedesaan. Namun demikian, telah tampak pula adanya transisi sosial budaya dari masyarakat pedesaan menuju masyarakat urban.
Menyikapi karakter sosial budaya masyarakat nelayan yang mencirikan suatu masyarakat pedesaan, maka diperlukan arahan kebijakan yang mampu menggerakkan kearifan tradisional masyarakat nelayan yang difasilitasi oleh pemerintah. Sebagai contoh adalah program pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berdasar pada konsep co-management. Masyarakat pedesaan pada dasarnya merupakan masyarakat yang sanggup bekerja keras, namun untuk itu diperlukan pendampingan dalam perbaikan cara-cara bekerja agar hasil yang diperoleh secara ekonomis efisien. Konsep pembangunan ini juga tidak mengabaikan sistem masyarakat yang secara positif mampu mendukung keberhasilan program pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat.
Hasil yang mencirikan suatu proses transisi dari masyarakat pedesaan menuju masyarakat urban perlu disikapi dengan arahan kebijakan yang mampu menggerakkan terjadinya internalisasi budaya industri ke dalam kehidupan masyarakat nelayan. Program-program pelatihan dan penciptaan mata pencaharian alternatif merupakan contoh arahan kebijakan yang diperlukan dalam hal ini. Mata pencaharian alternatif tersebut sangat penting untuk menggerakkan potensi sifat kerja keras yang dimiliki oleh masyarakat nelayan pada dasarnya


DAFTAR PUSTAKA

Cernea, M.M., 1988. Sosiologi Untuk Proyek-Proyek Pembangunan.dalam M.M. Cernea (Ed). Mengutamakan Manusia Dalam Pembangunan; Variabel-Variabel Sosiologi di dalam Pembangunan Pedesaan. pp. 3-26. Publikasi Bank Dunia.Penerjemah; B.B.Teku. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Danim, S. 2003. Metode Penelitian Untuk Ilmu-Ilmu Perilaku. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. 235 hal.
Hikmat, R.H. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press. Bandung. Cetakan Pertama. 260 hal.
Koentjaraningrat. 1994. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan Kebudayaan. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 149 hal.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Penerbit Rineka Cipta. Bandung. 391 hal.
Koentjaraningrat. 1964. Masyarakat Desa di Indonesia. Yayasan BPFE.Universitas Indonesia. Jakarta. hal. 354 – 370.
Masinambouw, E.K.M (Ed.). 1997. Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 389 hal.
Nasution, Z., T.T. Hartono, Sastrawidjaja, Mursidin, Mahyudin, M. Suherman dan Noor, M. 2004. Riset Sosio Antropologi Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Laporan Teknis. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, BRKP – DKP. Jakarta.
Susanto, A.S. 1984. Sosiologi Pembangunan. Penerbit Binacipta. Jakarta. 191 hal.
Taryoto, A. 1999. Internalisasi Aspek-Aspek Sosial Budaya dalam Proses Industrialisasi Pertanian. dalam I.W.Rusastra et al (Eds.). Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Hal. 575-582. Pusat Penelitian Sosek Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Wiradi, G., 1997. Rekayasa Sosial Dalam Menghadapi Era Industrialisasi Pertanian. dalam T. Sudaryanto et al (Penyunting). Prosiding Industrialisasi, Rekayasa Sosial dan Peranan Pemerintah Dalam Pembangunan Pertanian. Hal.63-70. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Himpitan Rentenir http://www.antara.co.id/arc/2007/3/26/nelayan-bayah-lebak-di-tengah-himpitan-rentenir
Indrawadi, (2009)Nasib Nelayan dan Potensi Kelautan http://www.geocities.com/minangbahari/artikel/nasibnelayan.html
Kearifan Tradisional Masyarakat Nelayan Lindungi Laut Kompas.Com Kamis, 26 Maret 2009, Jakarta
Mansur dan Mulyana (2007) Himpitan Rentenir http://www.antara.co.id/arc/2007/3/26/ nelayan-bayah-lebak-di-tengah-himpitan-rentenir
Ninda, Model Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Miskin Dalam Pengembangan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Laut Universitas Bengkulu
http://www.inherent-unib.net/simawa, Generated: 18 March, 2009, 16:18
Pangeman, Adrian P dkk (2002).Sumber Daya Manusia (Sdm) Masyarakat Nelayan
Makalah Kelompok A /TKL-Khusus Program Pasca Sarjana IPB http://tumoutou.net/702_05123/group_a_123.htm
Solihin A., (2004) Musim Paceklik Nelayan dan Jaminan Sosial
http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=7 diakses tanggal 27 Maret 2009
Ulumuddin, Ihya (2009) “Duapuluh Persen Nelayan Sumut Tidak Melaut” Analisa, analisadaily.com Selasa, 27 Januari 2009


Tagged
Different Themes
Written by Lovely

Aenean quis feugiat elit. Quisque ultricies sollicitudin ante ut venenatis. Nulla dapibus placerat faucibus. Aenean quis leo non neque ultrices scelerisque. Nullam nec vulputate velit. Etiam fermentum turpis at magna tristique interdum.

0 comments